
Ketika saya dan sahabat saya jalan dadakan ke Taman Wisata Banto Royo, Bukittinggi, kami memilih lewat jalan alternatif dari Padang Panjang, bukan lewat jalan raya. Di Nagari Koto Baru, setelah pasar Koto Baru, kami belok kanan ke Nagari Batu Palano, Sungai Pua terus ke Tanjung Alam dan Kapau, hingga akhirnya kami tiba di Banto Royo, Kamang, Bukittinggi.
Serius, memilih jalan yang bukan jalan umum itu asyik banget loh. Kita bisa menemukan sesuatu yang beda dari yang biasa kita lihat. Di sepanjang jalan dari Batu Palano sampai ke Banto Royo, jalan yamg kami lewati bukanlah jalan raya negara. Tapi pemandangannya sungguh sangat indah. Kami melewati persawahan yang luas membentang dan berundak-undak. Sawah-sawahnya berbingkai langit biru yang cerah dan awan yang putih bersih di lembah perbukitan nan hijau.
Perkampungan pegunungan yang berada di kaki Gunung Merapi tersebut terlihat tenang, bersahaja dan damai. Suasana yang membuat saya (selalu) jatuh cinta setiap melihat pemandangan perkampungan yang seperti itu. Nagari-nagari yang kami lewati tersebut memperlihat bahwa perekonomian masyarakat di sana sangat bagus. Itu terlihat dari rumah-rumah yang bagus-bagus dan juga persawahan serta pertanian yang tampak subur, dan hijau royo di sepanjang jalan.

Dan juga ya, di sini saya melihat banyak rumah-rumah, baik rumah gadang bagonjoang ataupun rumah panggung biasa yang dulunya merupakan rumah mewah dan bagus. Rumah-rumah tersebut walaupun terlihat sudah tua tapi memperlihatkan pada zamannya rumah tersebut adalah rumah-rumah mewah kepunyaan orang berada. Selain itu juga tampak rumah-rumah batu (gedungan) yang dibangun jauh sebelum republik tercinta ini merdeka. Itu terliht dari tanggal-tanggal yang tertera di tembok rumah-rumah tersebut.
Ini memperlihatkan perekonomian masyarakat di sini dari dulu sudah sangat bagus. Hanya saja rumah yang tampak mewah pada jamannya dulu terlihat ‘renta’ karena banyak yang jadi rumah kosong tak berpenghuni, ditinggal penghuninya yang tinggal di rantau. Oiya, saya ingat salah satu nagari yang saya lewati adalah Nagari Sungai Pua, Nagari ini dulunya dikenal sebagai nagari yang terkenal dengan pandai besi-nya. Hasil kerajinan besi mereka sangat terkenal ke berbagai daerah.
Nagari-nagari di sekitar Gunung Marapi (dan juga Gunung Singgalang), juga terkenal dengan petani sayuran hasil pertanian kaki Gunung Merapi. Dan ditambah lagi sebagian masyarakat di sana adalah kaum pedagang baik di Bukittinggi atau pun di Jakarta. Inilah yang membuat perekonomian masyarakat di sana bagus sejak zaman dahulu. Sehingga nagari-nagari tersebut unggul pertanian, perdagangan, dan tentu juga pendidikan.

Jalan Batu Palano – Sungai Pua- Bukitting/Baso yang kami lewati ini dulunya hanyalah jalan kabupaten saja. Tapi belakangan jadi jalan alternatif karena setiap lebaran Bukittinggi kan macet banget, maka pemudik diarahkan melewati jalan alternatif ini. Dan jalannya pun sekarang sudah diperlebar sehingga nyaman bagi pemudik yang pulang kampung dari tanah rantau.
Dan yang tak kalah penting dan utama adalah, melewati jalan alternatif ini pejalan akan disuguhi pemandangan pegunungan yang sangat indah yang bikin kita ngga merasa rugi melewati jalan tersebut. Begitu juga untuk rute pulangnya, kami juga melewati jalan alternatif lagi. Dari terminal Aua Kuniang, kami melanjutkan halan-halan ke Taluak, bukan lewat Jambu Aia – Koto baru. Jalan alternatif tersebut ujung-ujung nanti juga bertemu lagi dengan Sungai Pua- Batu Palano.
Kami juga mampir di dua buah mesjid tuo yang terkenal Sumatera Barat. Mesjid Raya Taluak dan Mesjid Raya Kubang Putih. Waaa, saya senang banget bisa ke sini, karena sudah lama pengen jalan-jalan ke kedua mesjid tuo yang bersejarah ini. Dan kebetulan juga kami tiba di Mesjid Kubang Putih, pas pada saat azan ashar. Jadinya saya bisa shalat dulu di sana.

Di jalan alternatif rute ini juga banyak rumah panggung yang sudah tua yang dibangun jauh sebelum kemerdekaan RI. Rumah panggung yang anggun. Tapi sayangnya rumah tersebut juga hanya menjadi rumah kosong saja, tidak dihuni oleh pemiliknya. Kata ibu-ibu yang saya tanyai di depan rumah tersebut, sang pemilik rumah keturunannnya tinggal di Jakarta atau di daerah rantau lainnya.
Yaaah, begitulah kebanyakan rumah gadang dan rumah-rumah panggung lainnya di Sumatera Barat, menjadi rumah kosong yang ditinggal penghuni. Sedih saya melihat kenyataan ini, apalagi kalau melihat rumah gadang yang sudah rubuh karena tidak dihuni.
Inilah salah satu manfaat jalan-jalan melewati jalan yang bukan jalan raya. Kita bisa melihat keindahan alam sekilas tentang kehidupan masyarakat daerah yang kita lewati. Apalagi kalau jalannya pake sepeda motor, pastinya jadi lebih asyik. Yuuup lebih asyik ya, bukan lebih nyaman. Karena kalau nyaman tentu saja lebih nyaman jalan-jalan pakai mobil pribadi ya, tapi keseruan saat jalan-jalan jaauuuh lebih seru pake motor.
Saya merasa jalan-jalan melewati perkampugan ini seperti mengalami petualangan Julian Kirin bersaudara dalam serial Lima Sekawan – Enid Blyton. Tapi dalam versi jaman kekinian yaa, hahaha. Julian Kirin yang 3 bersaudara kandung plus, satu saudara sepupu dan anjingnya, yang menamakan diri “Lima Sekawan” sering melakukan traveling pakai sepeda versi jaman dulu Kalau saya jalan-jalan versi kekinian dengan motor, hehehe.
Setibanya di jalan raya Bukittinggi -Padang Panjang,kami memutuskan mampir ke Rumah Puisi Taufiq Ismail dan Rumah Budaya Fadhli Zon. Kami menikmati ‘lemon tea’ hangat (yang cuma 12.000 segelas) ditemani sentuhan angin gunung yang membelai kulit dengan lembut di teras Rumah Budaya. Pemandangan ke arah Gunung Singgalang yang tertutup awan tebal sangat indah. Teh lemon yang hangat mengaliri tenggorokan dalam belaian angin pegunungan… Aaah nikmatnya… 🙂
Hayoooo teman-teman, siapa yang suka jalan-jalan pakai motor?



ajakin saya ke sini uni 🙂 cantik2 rumahnya ….
Hayuuuk, Mas Djangki… Seru banget lewat jalan alternatif…
Kapan dinasnya ke Padang – Solok…
btw, uni Firsty ini sekarang di solok apa jkt?
saya jarang sih ke padang sebenarnya
Lagi di Solok dl sekarang… hehehe. Ntar balik jakarta kalau udah bosan jadi penganggur, hehehe 😛
hihihi, menikmati suasana kampuang dulu ya uni, sip 🙂
Hahaha, iya Mas Djangki… tar kalau udah bosen ngangur tinggal balik jakarta… 😛
rancak e lai 😀
yo May… Ancak… sero yo lo…
[…] menelusuri jalan-jalan kecil yang bukan jalan raya. Sama seperti waktu kami ke Bukittinggi melewati Nagari Batu Palano dan Sungai Pua, kami juga mau pulang ke Solok nantinya dari Ombilin, lewat Rambatan terus ke Sulit Air, […]
[…] menelusuri jalan-jalan kecil yang bukan jalan raya. Sama seperti waktu kami ke Bukittinggi melewati Nagari Batu Palano dan Sungai Pua, kami juga mau pulang ke Solok nantinya dari Ombilin, lewat Rambatan terus ke Sulit Air, […]
[…] Baru kami belok kanan ke arah Batu Palano, terus ke Sungai Pua dan Nagari Taluak. Kali melewati jalan alternatif tujuan Bukittinggi. Pemandangan di sepanjang jalan dari di sana tjakep-tjakep deh. Baik pemandangan alamnya maupun […]