Rubuhnya Rumah Gadang Kami

sekarang, rumah gadang yang ada di Koto Baru, Solok ini sudah benar-benar rubuh… *nangis

Sekilas judulnya kayanya cerita AA. Navis ya, yang berjudul : Rubuhnya Surau Kami. Tapi memang sih idenya dari judul novel tersebut, Rubuhnya Rumah Gadang Kami. Rumah gadang yang rubuh yang aku posting ini adalah rumah gadang banyak saya liat yang sudah mau hancur karena sudah dihuni lagi oleh pemiliknya.

Sebenarnya sedih liat rumah gadang yang mau rubuh ini, tapi mau gimana lagi coba. Saya walaupun pecinta rumah gadang, tetaplah orang lain yang hanya bisa sedih, tidak bisa berbuat apa-apa. Karena pada kenyataannya di kampung-kampung Sumatera Barat banyak sekali ditemukan rumah kosong yang tak berpenghuni.

Ada banyak alasan yang membuat rumah gadang ini jadi hancur karena tak terawat. Pertama, pemiliknya sudah tidak tinggal di sana lagi (ya iyalah, kalau tinggal di sana, pasti terawat dan ngga bakal rubuh), jadi tidak ada yang merawat rumah gadang tersebut. Kemungkinan pemiliknya sudah tinggal di daerah lain atau malah di pulau lain. Akibatnya rumah mereka jadi kosong melompong karena tidak ada penghuninya.

Dan karena pemilik yang berada di rantau, dan jarang pula pulang kampung, ditambah lagi tidak ada keluarga keluarga dekat yang bisa tinggal sekaligus merawat rumah gadang mereka, maka nasib rumah gadang udah ngga karuan. Atau bisa juga keturunan keluarga pemilik rumah tersebut sudah ‘punah’. Jadi tidak ada keturunan si pemilik rumah yang harusnya menghuni atau merawat rumah gadang tersebut.

Keturunan yang sudah punah ini bisa juga menjadi penyebab kedua rumah gadang jadi rumah kosong yang ‘tak bertuan.’

Bagi masyarakat Minang, keturunan yang ‘punah’ ini maksudnya adalah keluarga tersebut tidak lagi mempunyai anak perempuan. Padahal anak perempuan bagi masyarakat minang adalah anak yang akan menerima warisan rumah dan harta pusaka tinggi keluarganya.

Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Minangkabau menganut sitem matrilinial, dimana harta pusaka tinggi keluarga diturunkan kepada anak-anak perempuan, bukan kepada anak laki-laki. Kaum laki-laki boleh menggunakan atau mengolahnya tetapi tidak mempunyai hak milik atas harta pusaka tinggi tersebut.

Keluargaku dulu juga termasuk keluarga yang hampir punah. Nenekku anak tunggal. Ibunya nenekku anak perempuan tunggal juga (saya lupa, ibunya nenekku punya saudara laki-laki ngga ya, seinggatku ngga, hehehe). Neneknya nenekku punya dua saudara perempuan, tapi kedua saudaranya ini ngga punya anak perempuan, semua anaknya laki-laki.

Satu-satunya keturunan perempuan dari nenek-nenek buyutku cuma nenekku aja. Kalau saja nenekku ngga punya anak perempuan maka ‘punahlah’ keturunan nenek buyutku karena tidak mempunyai anak perempuan. Dan kalau ini terjadi, maka harta pusaka tinggi milik nenekku entah gimana.

Tapi alhamdulillahnya, nenekku mempunyai 4 anak perempuan yang menyelamatkan keturunannya dari kepunahan. Sehingga masih ada anak cucu yang bisa menjaga harta pusaka tinggi. Harta pusaka tinggi dijaga untuk keturunan-keturunan berikutnya. Makanya hukum adat orang minang, sangat melarang keluarga menjual harta pusaka. Malah ada yang memantangkan demi keturunan mereka.

Nah, balik lagi ke rumah gadang yang rubuh tadi. Jadi sangat wajar banyak rumah gadang yang rubuh jika keluarga tersebut tidak mempunyai keturunan perempuan. Tidak hanya rumah gadang, di kampung-kampung rumah biasapun sangat banyak yang kosong yang ditinggal pergi oleh pemiliknya.

Sebuah rumah yang yang tidak ditinggali atau tanpa penghuni, pasti akan langsung cepat rusak. Walaupun rumah tersebut adalah rumah tembok atau bahkan rumah baru. Karena adanya orang yang tinggal di rumah itulah yang ‘menghidupkan’ rumah tersebut. Rumah baru saja akan cepat rusak, apalagi kalau rumah lama yang tidak dihuni oleh orang.

Rumah lama, baik rumah tembok ataupun rumah kayu, asalkan ada penghuninya satu walaupun cuma satu orang, rumah tersebut masih ada ‘aura’nya. Manusia yang tinggal di rumah tersebut yang membuat rumah tersebut ‘bersinar’.

Jadi rumah gadang umumnya berusia puluhan tahun atau ratusan tahun. Dan juga terbuat dari kayu. Jadi kalau rumah gadang yang berusia tua dan terbuat ini tidak dihuni (apalagi tidak dirawat dan dibersihkan), tentu saja rumah gadang tersebut akan cepat keropos dan lapuk. lama-lama rumah gadang ini akan segera rubuh tanpa dimakan usia sekalipun.

Berikut ada beberapa rumah gadang kosong yang hampir yang berhasil saya foto. Biasanya rumah-rumah gadang yang mau rubuh ini saya peroleh sembari lewat saja. Begitu liat ada rumah gadang, langsung saya foto, apalagi kalau rumah gadangnya udah mau rubuh, pasti saya dokumentasikan, arena saya sangat sedih liat kondisi rumah gadang yang mau roboh tersebut…

Aduh, sebenarnya saya punya foto-foto rumah gadang lainnya yang sudah sudah hendak rubuh. Tapi kok belum ketemu file-nya ya… Ntar deh, saya cari lagi…

Rubuhnya Rumah Gadang Kami

Advertisement

17 comments

  1. Hal yang memprihatikan ini juga terjadi di kampungku. Aku kira budaya merantau sangat berperan dalam keruntuhan rumah2 gadang ini . Penghuni kampung kebanyakan sudah sepuh. Selain para pewaris rumah gadang lebih suka membuat rumah baru di halamannya atau jauh dari lokasi

  2. Di Aceh pun demikian, Uni. Banyak bana rumoh Aceh yang sudah roboh. Tapi bukan karena tidak ada anak perempuan, tapi karena alasan yang pertama, tidak ada lagi penghuni sehingga rumah yang terbuat dari kayu tsbt lapuk dimakan usia

  3. miris banget ya uni, sedih lihatnya 😥
    kami urang piaman ndak ado barumah gadang do
    di kampuang ayah di solok, ado rumah gadang yang ndak bauni lai dek lah punah
    keluarga ayah lai ado barumah gadang tapi nan padusi-padusi ndak minat tingga di rumah gadang lai do 😦

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s