Hari Minggu tanggal 10 Januari, saya dan adik saya juga suaminya kembali melakukan swab PCR. Adik ipar saya juga di-swab meski seminggu yang lalu juga diswab. Minggu yang lalu hasil swab-nya alhamdulllah sudah negatif. Tetapi ia harus swab sekali lagi, tiga hari yang lalu, dan hasil swab, alhamdulillah juga negatif. Berarti ia sudah dinyatakan sembuh oleh dokter satgas kopit Kota Solok.
Loh, kok dua kali hasilnya negatif? Peraturan Satgas Covid pemerintah Kota Solok menyatakan, dokter satgas kopit akan menyatakan pasien sembuh dari kopit jika sudah mendapatkan hasil swab, dua kali negatif berturut-turut. Dan kalau sudah dua kali negatif, akan mendapatkan surat keterangan keterangan sembuh dari dokter satgas kopit Kota Solok.
Hasil swab adik saya juga negatif, alhamdulillah. Artinya, keesokan harinya ia bisa melakukan test swab PCR lagi untuk penentuan atau hasil konfirmasi. Kalau swab besok hasilnya negatif, ia dinyatakan sembuh. Tapi kalau hasilnya positif, ia harus tunggu lagi, dan test swab lagi sampai hasil testnya negatif dua kali berturut-turut.
Sementara ibu dan ayah saya juga sudah kembali melakukan swab di rumah sakit. Proses swab di rumah sakit, tetap sama, yakni dua kali proses swab dalam 2 hari. Jadi karena swab-nya dua kali dalam satu pengujian, maka pasien yang periksa di rumah sakit tidak memerlukan hasil konfirmasi negatif dua kali. Cukup sekali saja, maka pasien dinyatakan sembuh.
Alhamdulillah hasil swab keluar. Satgas kelurahan yang menginformasikan via WA. Ayah dan ibu saya, alhamdulillah dinyatakan negatif. Jadi, hasil tes swab PCR ibu dan ayah saya serta adik saya dan suaminya hasil swab-nya, negatif. Alhamdulillah. Lantas, bagaimana dengan hasil swab saya?
Alhamdulillah, hasil swab pcr saya masih positif guys, hahaha. Hasil swab yang bikin saya syok luar biasa. Dan rasanya kepercayaan diri saya jadi langsung ngedrop dalam menghadapi kopit ini. Padahal sejak adik ipar saya dinyatakan positif, lalu kami harus di-swab, dan dinyatakan positif kopit sampai selama menjalani masa isolasi bisa dibilang saya yang paling santai menghadapi kenyataan terpapar kopit ini.
Adik dan orangtua saya terlihat agak ‘syok’ menerima kenyataan kalau mereka terpapar kopit. Sementara saya bisa bersikap santai aja, dan nggak panik, serius. Tapi begitu tau saya yang masih posotif sendiri, tiba-tiba pertahanan ‘kesantaian’ saya jadi ngedrop. Mental saya tiba-tiba jatuh, karena berasa jadi pesakitan sendirian saja hahaha.
Saya jadi berpikir kenapa saya sendirian yang masih positif? Padahal apa yang kami makan sama. Saya setiap pagi juga paling rajin jalan, sendirian muter-muter di kompleks. Saya juga yang paling rajin jemur matahari pagi lama-lama. Eh tapi ternyata ketika ibu, ayah dan adik saya sudah negatif, saya masih positif. Rasanyaaa gimanaa gitu. Nelangsa sendiri, hahaha.
Saya minta isolasi di rumah pribadi adik saya. Tapi orang rumah ngga kasih ijin. Repot mikirin gimana makanan saya nantinya. Repot nganterin makanan. Mau masak juga bakal lebih repot lagi, karena saya lebih dibutuhkan istirahat. Mau beli juga bakal repot keluar rumah buat beli makanan. Lah saya butuh makan makanan yang bernutrisi tinggi, bukan cuma buat ‘menggempur’ lapar. Begitu alasan keluarga saya.
Karena tidak ada titik temu, saya telpon petugas satgas kovid di keluarahan tempat tinggal saya. Dia kan yang selama ini ngurus keperluan kopit kami kan. Katanya rumah sakit kopit kosong, ngga ada pasien. Karena pasien gejala ringan dan sedang memang dianjurkan untuk isolasi mandiri demi ‘kesehatan mental’ pasien itu sendiri. Tinggal dan diisolasi mandiri di rumah lebih baik buat pasien, asalkan benar-benar menjaga protokol kesehatan. Begitu katanya.
Tapi dia ntar nelpon lagi mengabarkan kalau ada pasien yang mau isolasi di rumah sakit satgas kopit. Dia mau diisolasi di sana kalau ada ‘teman’ yang sana-sama dirawat. Karena dia perempuan, dia juga maunya pasien yang perempuan. Saya bersedia. Tapi keluarga saya melarang. Ngga kasih ijin. Akhirnya saya ngga jadi diisolasi di rumah sakit satgas kopit. Say tetap isolasi mandiri di rumah aja. Meski dengan perasaan yang jadi tidak nyaman karena masih positif sendiria, hehehe.
Di rumah, orangtua saya makin ‘menghajar’ saya dengan air kelapa muda. Makanan sih sama aja. Buah-buahan juga sama sih. Tapi tiap hari dikasih air kelapa muda. Sampe-sampe perut saya berasa mau meledak saking kekenyangan. Tapi saya ngga bisa nolak tiap kali disuruh makan ini itu. Saya juga merebus air daun sungkai (ngga tau apa namanya dalam bahasa Indonesia). Daun Sungkai ini dipercaya bisa ‘menghajar’ berbagai macam virus, termasuk si pirus kopit.

Oiya, ditambah lagi dengan minum susu beruang dua sampai tiga botol sehari. Laah, saya kan konsumen ‘fanatik’ susu beruang. Tiap ngga enak badan musti minum minum susu beruang. Bisa-bisa tiga kaleng sehari. Dan juga, tak lupa pula susu kambing setiap pagi. Ya Allah ya rabbi, perut saya benar-benar mau meledak. Rasanya saya mau melambaikan tangan ke kamera saking ‘nyerahnya’ perut saya menerima semua makanan dan minuman, hahaha.
Saya juga minum air rebusan daun sungkai tiga kali sehari. Plus ntar sore ditambar air kelapa muda. Jadinya saya beser, hahaha. Tiap bentar ke kamar mandi buat buang air kecil. Rasanya melelahkan banget. Tapi mau ngga mau saya harus mau meski melelahkan memaksakan semua yang bisa dimakan dan diminum supaya hasil negatif. Ya allah, taubat saya, wkwkwk.
Corona, Corona virus, virus korona, covid 19, penyintas covid