Sekilas Tentang Saniangbaka, Sebuah Nagari di Pinggir Danau Singkarak

Di Solok, tepatnya di pinggir danau singkarak, terdapat sebuah nagari (kampung, setingkat desa) kecil yang tenang yang bernama Nagari Saniangbaka atau Saniang Baka. Nagari ini berada di kecamatan X Koto Singkarak atau X Koto Dibawah, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Lokasi Nagari Saniangbaka berada di sisi selatan Danau Singkarak.

Nama nagari ini pernah di-bahasa-indonesiakan pada zama orde baru dengan sebutan Saning Bakar. Tidak hanya nama nagari Saniangbaka saja yang di-bahasa-indonesiakan, semua nama daerah di Minangkabau yang ada padanan atau artinya dalam bahasa Indonesia diubah ke bahasa Indonesia. Contohnya, Bukik Tinggi menjadi Bukit Tinggi, Sawok Laweh menjadi Sawok Lawas, Tanjuang Bingkuang menjadi Tanjung Bingkung. Serius, saya menyebutnya dengan ‘pemerkosaan’ bahasa minang oleh bahasa indonesia, hehehe.

Oya, balik lagi soal Saniangbaka. Nagari saniang Baka yang berjarak sekitar 14 km dari pusat kota Solok ini dikelilingi oleh persawahan yang membentang cukup luas. Di sisi utara Saniangbakar terbentang sawah-sawah yang bersisian dengan pinggir danau Singkarak. Danau Singkarak ini oleh orang Saniangbaka disebut dengan pasia. Sebelah Sisi barat, timur, dan selatan nagari Saniangbaka berbatasan dengan sawah dan perbukitan.

Wilayah Nagari Saniangbaka ini cukup luas, tapi wilayah yang ada penduduknya kecil banget. Mungkin hanya sekitar (maksimal) 1,5 km x 1,5 km. Di dalam wilayah penduduk ini, selain rumah-rumah penduduk yang rapat, juga terdapat lawang. Lawang ini adalah lahan atau tanah kosong, atau bisa juga lahan perkuburan yang (kebanyakan) berada antara sekelompok rumah dengan sekelompok rumah.

Oya, soal lawang atau pekuburan ini, di sana tempatnya berserakan di dalam kampung atau nagari. Tidak berada di luar kampung seperti kebanyakan orang-orang di daerah lain. Jadi tidak sedikit rumah-rumah yang jaraknya dengan pekuburan  hanya 1 meter saja, hehehe. Banyak rumah yang kalau buka jendela depan dan sampingnya adalah pekuburan. Untuk menuju rumah orang seringkali juga harus melewati jalan setapak yang kiri kanannya adalah pekuburan. Itu pemandangan biasa di sana.

Nagari saniang baka secara adat terdiri dari  beberapa suku. Kalau tidak salah ada 9 suku yang terdapat di dalam nagari Saniangbaka. Suku  dalam sistem adat minang artinya klan kekerabatan keluarga berdasarkan garis kekerabatan ibu. Mirip dengan sistem marga bagi orang Batak yang patrilineal, suku dalam adat minang berdasarkan matrilinial.  Suku-suku tersebut adalah : Sumpadang, Piliang, Sikumbang, Koto, Tanjuang, Guci, Balaimansiang, Pinyangek. Ada lagi ngga ya? Mana tau ada orang Saniangbaka yang baca trus kasih koreksi saya, hehehe.

Warga Saniangbaka umumnya saling mengenal satu sama lain, karena wilayahnya penduduk (wilayah yang dihuni) yang tidak luas. Dari satu ujung ke ujung yang lain saling mengetahui satu sama lain. Misal kita menyebut tentang seseorang, trus kita ngga tau, sebut saja nama orangtuanya, maka kemungkin akan langsung tau. Atau sebut saja nama suku atau nama tempat tinggalnya, maka akan langsung dijawab, “ooo, si itu,” langsung pada ngeh. Eh tapi itu dulu ya, sampai sekitar 10 – 20 tahun yang lalu. Tapi saya pikir sekarang juga maih sama, walaupun pasti ada perubahan sedikit banyaknya.

Masyarakat Saniangbaka dikenal sebagai masyarakat yang mempunyai pendidikan tinggi, sehingga sudah sejak lama animo masyarakat Saniangbaka melanjutkan pendidikan hingga kuliah sangat tinggi. Sebagian besar pelajar yang lulus SLTA, merasa malu kalau tidak melanjutkan pendidikannya hingga bangku kuliah.  Makanya tidak heran banyak masyarakatnya yang kemudian sukses berkaris di berbagai bidang, baik yang tinggal di wilayah Sumatera Barat ataupun yang tinggal di luar sumatera Barat.

Warga masyarakat asal nagari ini yang sukses dan juga dikenal sebagai saudagar sukses, baik di rantau maupun di wilayah Solok. Di daerah rantau, mereka dikenal sebagai pedagang bahan plastik dan juga rumah makan. Di Kota Solok sendiri, orang-orang Saniangbaka banyak ‘menguasai’ perdagangan di berbagai jenis usaha. Sehingga pedagang asal Saniangbaka seringkali disebut dengan ‘Cino – Solok” alias Cinanya orang Solok.

Selain dikenal sebagai nagari dengan masyarakat yang mempunyai pendidikan tinggi, orang Saniangbaka juga dikenal sangat religius. Dari kecil mereka sudah terdidik keras dengan agama. Aturan tatakrama begitu kuat tertanam di dalam diri mereka. Bahkan kadang-kadang terkesan lebai bagi orang yang kurang paham karakter masyarakat di sana. Tapi tentu saja tetap ada pegecualian juga seperti halnya bunyi pepatah “tak ada gading yang tak retak,” ya kan. Karena sekarang jaman sudah berubah, dan kemungkinan besar banyak juga terjadi perubahan-perubahan nilai di sana.

Eh, apalagi ya kira-kira informasi yang bisa ditambahkan ya, bingung juga, hahaha. Banyak sebenarnya tapi kok ya tiba-tiba lupa ya, hehehe. Oiya, di tengah-tengah Nagari Saniangbaka terdapat sungai berbatu yang mengalir ke Danau Singkarak. Sungai atau kali, dalam bahasa minangkabau disebut dengan batang ayia atau batang air.

Dalam berbicara sehari-hari disingkat-singkat menjadi tang yia karena kebiasaan orang minang dalam berbicara seringkali suka memendek-mendekkan kata. Seperti, kota bukik tinggi, disebut dengan kik tinggi. Payokumbuah (payakumbuh) disebut dengan pikumbuh. Jadi untuk menyebut batang ayia atau tang yia, orang Saniangbaka menyebut tang yia dengan lebih unik lagi yakni, tangaya. Akibatnya orang Saniangbaka sering ‘dibully’ dengan sebutan tangaya, hehehe.

 

Advertisement

5 comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s