Kami terbangun di penginapan saat azan subuh berkumandang di hape, ((((hape)))) hehehe. Setelah selesai shalat subuh satu persatu dari kami berlima langsung turun ke kamar mandi yang berada di lantai. Brrrrrr…., air di Kersik Tuo dingin buangeeet, ampun-ampunan dinginnya. Berasa mandi pakai air es. Kami pun beberes setelah selesai mandi. Termasuk mengemas semua baramg ke dalam mobil.
Sembari menunggu sarapan di penginapan, kami berfoto-foto di kebun teh yang berada di seberang penginapan. Kebun teh terhampar bak permadani raksasa dengan latar Gunung Kerinci yang megah (tepat ngga sih pakai kata megah?) dan menjulang tunggi. Udara pagi terasa segaaaar banget, membuat kepala jadi adem, paru-paru jadi segar, mata jadi twing-twing melihat yang segar, hehehe. Sukaaa banget dengan suasananya.
Setelah selesai sarapan, kami cuuus ke pos jaga Danau Gunung Tujuh yang berada di Pelompek. Melapor dan meninggalkan KTP salah seorang dari kami. Kami memutuskan naik ojek ke pintu pendakian untuk menghemat tenaga, hahaha. Lumayan banget, karena jarak pos lapor- pendaftaran dengan pintu masuk kira-kira pendakian sekitar 1,5 – 2 km.

Di pintu awal pendakian ini kami berdoa dulu, baru jalan. Treking awal naik Gunung Tujuh ini sih bagus, jalurnya dicor selebar kira-kira 1,5 m sepanjang kira-kira 200 m. Tapi meskipun jalannya bagus, teman saya Linda sudah mulai ngos-ngosan. Dia sampe mikir, bisa ngga ya dia nyampe atas, tapi dia tetap semangat mau jalan walaupun harus ‘ngesot’ biar sampe di puncak, hahahaha. Epic banget cooy… :p
Begitu tiba di ujung jalan ber-cor, jalan tanah yang menanjak tajam dan terjal langsung terhampar di depan mata. Jalur trek setelah jalur tembok benar-benar bikin saya langsung mikir, yakin ngga nih kami bakal naik, hahaha. Jalurnya langsung nanjak blas. Melihat tanjakan yang langsung tajam, Dedew langsung nyerah. Dia ngga mau naik, katanya. Waduuuuuh, gimana ini.
Semua langsung menyemangati Dedew bahwa dia bisa. Dia awalnya ngotot ngga mau naik, tapi karena yang lain tetap ngasih semangat bahwa dia bisa, maka Dedew pun bersedia naik bersama kami. Kalau dia tidak naik,otomatis saya juga tidak akan naik. Sementara Linda yang udah ngos-ngosan tetap dengan semangatnya walaupun napasnya sudah satu-satu, hahaha.
Sebenarnya diantara kami berlima, yang pernah naik gunung waktu sekolah dan kuliah dulu cuma Linda. Saya juga ngga pernah. Kalau Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Bromo dianggap sebagai gunung untuk ‘pendakian’ maka pengalaman saya naik gunung cuma di dua gunung tersebut, hahaha.
Dan sebenarnya juga, saya sangat mengkhawatirkan Linda, Yuli dan Dedew. Linda, jangankan berjalan di jalanan mendaki, di jalan datar saja kalau jalan agak jauh udah ngap banget dia. Karena dia memang punya keluhan kesehatan yang membuatnya sangat gampang capek jika sedang melakukan aktifitas fisik yang agak berat.
Begitu juga dengan Yuli. Dia itu sebenarnya jagoan balap kalau bawa motor, melebihi cowok. Tapi sejak pernah terjatuh dari motor (beruntun) gara-gara mobil di depan yang ngerem mendadak, dia jadi ngedrop. Pokoknya psikologisnya yang ngedrop setelah jatuh dari motor, merembet ke banyak hal. Dia tidak lagi menjadi cewek tangguh yang selama ini gue kenal. Makanya suaminya mengizinkannya pergi ke Kerinci, sebagai self healing bagi dirinya (dan alhamdulillah pengaruhnya sangat besar pada dirinya setelah pendakian tersebut).
Dedew apalagi, ia bukan saja ngga pernah hidup ‘susah’ sejak lahir. Ia anak orang kaya, kaya raya sejak kakek neneknya yang orang berada dan terpandang. Ia juga diberkahi suami yang sangat sayang dan sangat siaga kepadanya. Jadi mendaki seperti ini tentu pengalaman yang luar biasa bagi dirinya, wooow banget. Jadi sebagai sahabatnya saya musti ‘menjaga’ dia banget, hwahahaha. Sahabat baik banget ya guee… *muji diri sendiri.
Dengan kondisi teman-teman saya yang seperti itu, saya ngga ‘sempat’ lagi mengkhawatirkan adik saya. Karena, insya allah dia bakal fine-fine saja, alhamdulillah. Dia itu juga rider yang udah jalan kemana-mana sama temannya. Trus ya, dia juga jauh lebih muda dari kami berempat, hahaha. Dan alhamdulillahnya lagi, adik saya ini bisa jadi adik yang siaga buat Dedew. Karena selain mereka memang sudah akrab banget, adik saya juga sangat tau ‘kondisi’ Dedew.
Jalur trekking dari bawah sampai atas menanjak terus, tanpa aja jalur yang mendatar. Dari awal pendakian sampai pos satu, nanjak tajam, rata-rata kemiringinan sekitar 30 derajat. Bahkan ada di beberapa titik yang 60 derajat atau lebih. Sehingga untuk melangkah naik musti menapaki akar-akar yang yang berfungsi menjadi tangga. Kalau tidak ada akar-akar tersebut akan sangat susah menapak tanah yang licin akibat hujan yang malam sebelumnya.
Untungnya di sepanjang jalur pendakian, pohon-pohon besar menjulang tinggi sehingga sepanjang jalur selalu adem selalu adem, terlindungi dedunan pepohonan yang tinggi-tinggi. Para pendaki tidak perlu khawatir dengan cuaca yang panas terik, karena udara pegunungan yang sangat segar selalu membelai kulit dan paru-paru kita. Udara yang masuk ke paru-paru terasa enaaak banget.
Dari awal naik, setiap ketemu pendaki yang turun dari puncak kami tanya apakah masih jauh atau tidak, hahaha. Pendaki yang turun ramai bangat, mereka semalam nginap di atas di pinggir Danau Gunung Tujuh. Total paling ngga sekitar ada 50-60-an orang yang ketemu orang-orang yang turun gunung. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa dan pelajar SMA.
Selama pendakian juga, pendaki yang naik setelah kami juga sangat banyak. Ada yang cuma dua-tiga orang, ada juga beberapa rombongan anak sekolahan yang hiking ke danau. Namanya juga anak sekolahan, mereka masih muda banget, masih semangat banget, mereka bisa naik melesat ke atas walaupun mereka mulai mendaki satu jam setelah kami. Ada juga rombongan kantor sekitar dua puluhan orang yang mendaki setelah kami, lama-lama juga meninggalkan kami, saking pelannya jalan kami, hahaha.
Linda seringkali tertawa ‘sumbing’ pada dirinya sendiri. Tapi dia sangat positif bisa sampe ke danau. Dia tidak berhenti menyemangati dirinya dan juga mulutnya tidak berhenti bertakbir untuk menyemangati dirinya. Saya sangat salut dengan semangatnya yang luar biasa mau mengalahkan rasa ‘ketidakmampuannya’ untuk bisa mendaki ke Danau Gunung Tujuh ini.
Sejak awal mula pendakian Linda terlihat sudah ngos-ngosan. Saya selalu berada 1 meter di belakang dia atau di depan dia. Untungnya dia sewa porter, Rian namanya kalau ngga salah. Jadi kalau saya di depan Linda, si Rian di belakang Linda. Begitu juga sebaliknya, kalau saya di belakang Linda, Rian yang si depan Linda. Rian yang membantu menarik Linda kalau dia susah naik. Ada kalanya Linda saking ‘ngap’nya dia, untuk naik satu langkah saja susah, butuh perjuangan berat banget bagi dirinya, apalagi pada jalur yang kemiringannya lebih besar dari 60 derajat. Sampai-sampai dia bernadzr kalau ia akhirnya tiba di danau dan pulang dengan selamat, hahaha.
Ketika kami kami melewati jalur dari pos 1 menuju pos istirahat 2, saya lihat Yuli dan Dedew fine-fine aja. Ngga terlihat ada keluhan. Mereka tampak sangat bersemangat. Mereka berdua, bertiga dengan adik saya, malah sering ‘hilang’ dari pandangan saya karena bisa jalan cepat. Sementara saya harus mengiringi langkah Linda yang berjalan selangkah demi selangkah dengan penuh semangat, semangat sempat lima. Kekhawatiran saya pada Yuli dan Dedew ternyata berlebihan, hehehe.
Akan tetapi pada jalur pos 2 menuju pos 3, Dedew tiba-tiba berteriak, kakinya keram. Ia menyerah ngga mau naik lagi. Teman-teman mencoba ngasih semangat ke dia. Akhirnya dia mau lagi lanjut naik. Setelah naik 100 – 200 m lagi, Dedew kembali teriak kesakitan. Ia bahkan sampai nangis. Kami istirahat lagi. Dedew benar-benar ngga mau naik lagi. Tapi kemudian dia ‘ngalah’ dan kembali melanjutkan pendakian.
Baru saja berjalan beberapa puluh meter, Dedew lagi-lagi berteriak dan nangis. Ia benar-benar menyerah. Ngga mau naik lagi. Kami akhirnya memutuskan sampai di sana saja. Ngga usah naik juga. Tapi Dedew juga ngga mau. Ia malah makin nangis kalau yang lain ngga jadi naik gara-gara dia yang ngga bisa naik. Ia minta selain saya supaya naik saja biar dia tidak merasa bersalah. Tapi kami sudah memutuskan tidak melanjutkan pendakian. Kami minta dia ngga usah merasa bersalah kalau semuanya ngga jadi naik.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah 2 lewat 10. Artinya, kami naik hampir 5 jam, tapi belum juga nyampe-nyampe ke puncaknya, apalagi ke danaunya, hahaha. Pada saat kami sudah memutuskan turun, ada rombongan yang naik (mau nginap, camping) yang justru memberikan semangat untuk naik. Tinggal 100-an m lebih aja udah tiba di puncak, habis itu turun ke danau, katanya.
“Sayang banget kalau sudah tiba di sini ngga turun ke danau,” si bapak dalam bahasa padang memberikan semangat pada kami, bahkan bersedia menunggu kami.
Adik saya semangat. Dia bilang dia mau naik sendiri saja tidak apa-apa. Saya melarang dong, enak aja. Ini di gunung, masa ia saya ijinkan jalan sendirian? Dia di bawah tanggung jawab saya sebagai kakaknya. Kalau ada yang mau naik lagi selain dia jadi berdua masih bisa saya ijinkan. Eh rupanya Yuli dan Linda semangat lagi buat naik. Padahal tadinya sudah oke mau turun aja, hahaha.
Akhirnya kami memutuskan, saya dan Dedew tidak melanjutkan naik ke puncak. Yuli, Linda dan adik saya ditemani Rian naik ke puncak, dan turun ke danau. Saya dan Dedew menunggu mereka bertiga di tempat kami istirahat sekarang, di antara patok 36 dan 37. Karena sisa pejalanan ke danau sudah dekat, dan biar sama-sama saja turun ke bawah.
Begitu Yuli, Linda, dan adik saya mulai mendaki, saya berubah pikiran. Saya mengajak Dedew turun aja. Karena kalau kami turun pelan-pelan, karena nanti pasti bisa kesusul mereka juga kami jalannya pasti ngga cepat. Dedew oke, dan kami pun pelan-pelan turun ke bawah, hehehe.
Tapi ternyata oh ternyata, tenaga yang dibutuhkan untuk turun jauh lebih besar lagi. Paha saya sampai gemetar kalau pas turun tidak ada kayu pohon untuk berpegangan. Sementara Dedew untungnya masih memegang tongkat Rian, jadi ada tempat berpegangan. Kami berdua turun dengan pelan banget, turun jam 2 kurang 10 menit, tiba di bawah jam 6, 4 jam, hehhehe. Bagaimana cerita turunnya, saya buat di postingan terpisah, soalnya sudah panjang banget, sudah hampir 1600 kata, sudah bisa 3 postingan harusnya ini, hehehe.
semangat uni, kerinci gak bakalan kemana2 kok, saya malah belum pernah naik gunung tujuh 🙂
Hahaha… saya juga blmpernah naik gunung di sumbar… 😛
saya baru gunuang padang yg naik dari jembatan siti nurbaya itu aja wkwkwk…
seeekkk… Aku gunung padang aja beluuum… Ntar2 deh nyoba kalau main ke padang,hehe
15 menit naiknya hehehe….
hwahahaha… mau mah naik gunung kaya gini… 15 menit bagi orang lain, sama aku setengah jam atau hampir 1 jam, hehe
wkwkwk… 20 menit lah uni 🙂
kerennya para hijabber hijabber naik gunung nih
Hahaha… iyaa… nyoba-nyobaa… tau-nya gempooor,hehehe
kalau gak gitu gak punya pengalaman baru kan ya
Ini pengalan bagi kami luar biasa bangeeeet. Pengalaman ‘naik’gunung cuma tangkuban parahu dan bromo aja… 😛
wuaaah gunung kerinci,gunung yg slama ini pengen gw daki tapi blm ada kesempatan
masuk cek list nih kl ke sana
Saya ngga ke Gunung kerinci, tapi ke Gunung Tujuh di Kerinci…
Ayo buat list ke sana. Alamnya indah di sana…
Waah mantap kereen…
Hahaha… belum mantap2 amat… 😛
[…] akhirnya saya dapat mood untuk melanjutkan postingan tentang pendakian Gunung Tujuh. Postingan pertama saya tentang keluh-kesah nista saya sewaktu melakukan pendakian yang luaaaar […]
[…] Jalur treking Danau Gunung Tujuh ini nanjak blas sepanjang jalan. Ngga ada sama sekali yang landainya. Seruuuu banget deh pokoknya. Seru cerita naiknya, lebih seru lagi cerita turunnya. Tapi, selain seru juga mengerikan banget karena teman saya berjarak kurang dari 10 m dengan seekor harimau sumatera, hiiiii *bergidik. Ntar juga saya buat postingan terpisah tentang pendakian Danau Gunung Tujuh ini. Dan yang pastinya postingannya banyak dan panjang, ada beberapa postingan hehehe. […]
[…] Naik Gunung Tujuh, Kerinci […]