Hari kamis tanggal 7 Agustus 2019 membeli tiket AA tujuan KL bersama adik saya. Rencanya kami pulang hari Sabtu sore tanggal 10. Tapi ngga jadi karena tiket baliknya ampun-ampunan mahalnya. Saya cek tiket sejak dari Jumat sore sampai sabtu pagi, tiket per orang selalu (hampir) 1, 9 juta. Berdua jadinya hampir 3,8 juta. Ooohhh noooo. Muahaaal banget coooy. Akhirnya kami nambah nginap lagi semalam di Kuala Lumpur. Karena tiketnya kurang dari setengahnya, 870 ribu, per orang. Lumayan jauh lebih muraaah laaah.
Konsekwensi karena saya ambil tiket hari minggu adalah, kami tidak berlebaran di rumah. Tapi di KL. Saya kemudian merencanakan mau shalat hari raya Idul Adha di Mesjid Jamek Kuala Lumpur, bukan di Mesjid Negara. Alasannya karena akses mesjid Jamek gampang banget. Mesjid Jamek persis di sebelah salah satu pintu masuk keluar stasiun Mesjid Jamek. Ga susah rute ke arah sana.
Sementara kalau saya shalatnya di Mesjid Negara, saya musti turun di Stasiun Pasar Seni. Dari Pasar Seni nyeberang jembatan ke stasiun KTM Kuala Lumpur, masih jalan terus lagi belok kanan kiri melewati gedung parkiran yang agak suram. Masih belum sampai juga, harus menyeberang lagi ke under pass di depan Mesjid Negara. Jauhnya mungkin mencapai 400 – 500 m. Maleeesss kaaan. Makanya mending saya memilih Mesjid Jamek aja, hwahahaha.

Pagi-pagi selepas shalat subuh saya langsung mandi. Saya siap-siap jalan ke Mesjid Jamek. Saya aja yang pergi shalat sendirian, adik saya ngga mau. Saya keluar hotel jam 7.10. Jalan ke stasiun Bukit Bintang ibarat kata ngesot doang. Jaraknya beberapa ruko saja. Kira 20 – 30 m saja. Di dalam stasiunnya baru dah riweuh turun-turun eskalator, hehehe. Rute terbaik tujuan Mesjid Jamek yang saya tau adalah naik MRT tujuan Pasar Seni, hanya 2 stasiun dari Bukit Bintang.
Hanya saja saya mau tau dan mau mencoba rute lain. Jadi saya tanya ke petugasnya, rute tujuan Mesjid Jamek. Katanya, ganti kereta di Stasiun Merdeka, hanya satu halte setelah Bukit Bintang. Dari sana ganti kereta, naik LRT Laluan Kajang, Mesjid Jamek berada satu halte stasiun juga setelah stasiun Merdeka. Dan rupanya setelah keluar MRT Stasiun Merdeka menuju LRT tujuan Mesjid Jamek, jalannya juga jauuuh pemirsyaaah. 2 kali naik eskalator plus jalan jauh lagi, bahkan tersedia 2 eskalator horizontal, hahaha. Waaah, niatnya ga mau jalan jauh-jauh tapi tetep juga jalannya jauh, hehehe.
Saya tiba di Mesjid Jamek, jamaah belum ramai-ramai amat. Ya sutralah, saya moto-moto dulu sembari menunggu pengumuman mulai pelaksanaan shalat Iedul Adha. Harus dong ya, apalagi Mesjid Jamek kan mesjid bersejarah di Kuala Lumpur. Saya moto-moto bagian ujung area mesjid yang hanya berjarak beberapa meter dari ruang shalat wanita. Bagian ujung area Mesjid Jamek tersebut adalah tangga menuju ke sungai yang dulunya dijadikan tempat berwuduk, pada zaman awal-awal mesjid ini didirikan. Tangga menuju sungai ini persis berada di pertemuan Sungai Klang dan Sungai Gombak.
Tapi moto-motonya cuma 5 menitan saja. Abis itu saya duduk aja dulu di luar selama kira-kira 10 menit, trus saya pergi ke toilet buat wudhu lagi. Jadwal shalat Ied di sini mulainya jam 8 lewat 30. Dan rupanya, ngga di Jakarta ngga di Kuala Lumpur karakter sebagian jemaah shalat ied sama saja. Beberapa saat (paling lama hanya 5 menitan) setelah selesai shalat ied, sebagian jemaah udah langsung bubar grak. Ngga duduk anteng dulu dengerin khutbah shakat ied. Padahal kan khutbah termasauk rukun shakat ied kan ya, hehehe.
Jamaah Mesjid Jamek ini (terutama jemaah pria) sebagian besar adalah muslim dari etnis Asian Asian Selatan. Mungkin lebih dari 65%. Sisanya adalah orang berwajah melayu (Malaysia atau Indonesia). Ada juga beberapa orang Afrika dan orang Arab. Benar-benar multi nasional deh. Begitu juga dengan jemaah wanita, terlihat orang-orang bermuka melayu (entah Malaysia, entah Indonesia) hampir semuanya mengenakan mukena. Sementara wanita yang muka arab dan tidak mengenakan mukena sama sekali karena memakai abaya dan pasmina. Mba-mba Asia Selatan shalat pakai celana tanpa kaos, pergelangan tangan terbuka dan poni depan terbuka juga.
Di sini pada saat shalat Iedul Adha (sepertinya) beredar kotak amal sebelum pelaksanaan shalat ied. Kalau di Jakarta atau (apalagi) di Solok, biasanya sembari nunggu jemaah lainnya, kotak amal berjalan untuk memberikan kesempatan kepada jemaah ‘nabung’ untuk akhirat. Di sini sepertinya ngga ada. Saya ngga tau apakah kotak amalnya benar-benar ngga ada atau memang ngga lewat-lewat di depan saya, hahaha. Kalau memang ngga ada. mungkin karena mesjid sudah tidak perlu bantuan uang pembangunan lagi dari jamaah ya, jadi merasa tidak perlu lagi ‘mengedarkan’ kotak amal, hehehe.
Pengemis yang datang berkumpul di depan mesjid juga masih ada walau ngga banyak. Tapi cooy, pengemisnya ngga ‘selusuh’ pengemis di indonesia. Beberapa terlihat sangat kuat dan sepertinya ekonominya ngga jelek-jelek amat kalau diliat dari gaya berpakaiannya. Pengemis-pengemisnya itu juga tidak semua berwajah melayu. Semua ‘wajah’ terlihat di sana. Dan juga ngga terlihat pengemis yang harus paki gips segala atau gaya yang terlihat lusuh-lusuh kaya di indonesia, ngga sama sekali, hahaha.
Selesai shalat Ied, saya memutuska jalan-jalan lagi di sekitar mesjid. Saya jalan ke Dataran Merdeka (lagi). Bulan januari kemaren, lapangan rumput Dataran Merdeka tertutup karena ada renovasi entah apa. Kemaren sudah dibuka dan terlihatlah Dataran Merdeka yang yang luas. Tapi, galeri “I Love KL” sedang direnovasi di bagian luarnya. Jadinya saya hanya di seputaran Dataran Merdeka saja. Setelah itu balik lagi ke hotel untuk siap-siap pulang ke Padang. 🙂