Salah satu kebiasaan saya setiap kali jalan-jalan dengan motor bersama sahabat saya adalah, mendokumentasikan rumah gadang yang terlihat di sepanjang jalan. Yang terlihat saja sih, biasanya pasti saya poto. Entah kenapa saya mempunyai ketertarikan yang tinggi terhadap rumah gadang-rumah gadang ini. Apalagi kalau rumah gadang tersebut sudah rusak, reyot atau malah hampir rubuh. Bagi saya wajib hukumnya memoto rumah gadang tersebut.
Begitu juga saat saya jalan-jalan ke Rumah Gadang Kampai Nan Panjang di Nagari Balimbiang. Niat saya cuma mau mengunjungi rumah gadang Kampai Nan Panjang tersebut saja karena termasuk salah satu situ sejarah budaya di Minangkabau. Tetapi rupanya di dalam Nagari Balimbiang ini banyak sekali rumah gadang yang terlihat. Waaaa, saya senang sekali. Senang bangeeet. Ada beberapa gadang yang sudah direnovasi melalui dana bantuan pemerintah, sehingga rumah gadang tersebut terlihat kokoh baru dan kokoh lagi. Sayang fotonya ada di hape saya yang rusak,
Akan tetapi, ada juga beberapa rumah gadang-rumah gadang tersebut yang terlihat kosong alias tak berpenghuni sama sekali. Saya berpikir rumah gadang tersebut kosong tak berpenghuni karena terlihat dari tangga rumah jendela-jendela yang rusak, dan bahkan ada bagian belakang rumahnya sudah dijalari pohon-pohon rambat. Rumah gadang yang terlihat tidak terawat dan tampak hampir roboh tersebut mungkin disebabkan karena sudah tidak lagi dijadikan tempat tinggal oleh pemiliknya. Akibatnya rumah-gadang tersebut jadi melapuk dan rubuh dimakan usia dan zaman.
Saya yang penyuka rumah gadang, hati saya terasa ngilu melihat rumah gadang yang tak berpenghuni dan hampir roboh tersebut. Itu hanyalah rumah gadang yang terlihat di sepanjang jalan saja loh ya. Saya tidak tau apakah masih banyak rumah gadang di jalan-jalan dalam yang bukan jalan utama. Ada memang rumah gadang yang lumayan masih kokoh tapi pintu dan semua jendela tertutup karena tidak ada penghuni.
Saya paham banget kenapa banyak rumah gadang yang roboh di Ranah Minang ini yang tidak lagi dihuni oleh pemilik atau keturunannya. Bisa jadi pemilik rumah gadang tersebut adalah rumah gadang bersama yang keturunan pemiliknya sudah hidup di rantau sehingga tidak ada anak cucu yang tinggal di sana. Bisa jadi juga rumah tersebut merupakan rumah gadang dari keluarga yang punah menurut sistem adat minangkabau. Atau bisa jadi juga rumah tersebut tidak lagi dihuni karena pemiliknya memilih membangun rumah tembok dan tinggal di sana. Karena mengurus rumah tembok tentu lebih mudah daripada rumah gadang.
Apapun alasannya, saya selalu merasa sangat sedih setiap kali melihat rumah gadang yang kosong terlihat tidak terurus, apalagi sampai hancur begitu saja. Akan tetapi, saya hanya bisa merasa sedih dan prihatin saja setiap kali melihat rumah gadang yang kosong yang melapuk dan bahkan hancur karena saya juga tidak bisa berbuat apa-apa dengan rumah gadang tersebut. Karena rumah gadang tersebut bukan rumah keluarga saya jadi saya hanya bisa melihat begitu saja tanpa bisa berbuat apa-apa sama sekali.
Bahkan kalaupun keluarga besar saya mempunyai rumah gadang yang juga melapuk dan hancur, tetapi kami tidak mempunyai cukup uang untuk merenovasinya, saya juga tidak bisa melakukan apa-apa kan. Saya hanya berharap dan berdoa rumah gadang tersebut tetap berdiri sampai ada yang bisa merenovasinya. Rasa sedih saya hanya tertinggal di dalam hati saja, karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Adakah teman-teman lainnya juga penyuka wisata sejarah budaya?
wah sayang banget ya, rumah adat yang keren itu tak dilestarikan oleh penerusnya.
iya sayang banget… sedih liatnya…
Saya *Tunjuk tangan* 🙂 Kalau pergi ke suatu tempat, aku pasti lebih suka fokus ke wisata budayanya, daripada wisata kuliner. Tapi khusus untuk Sumbar, aku mau fokus kedua duanya, dan mau cobain makan nasi Padang di tempat asalnya 😀
Samaa… lebih utama wisata budaya dan sejarah, hehehe…
hayuukk… jalan2 ke Sumbar *udah ke sekian kali ya ajakannya, hehe
iya, dan saya pun belum tahu kapan bisa ke sana 😦
Sok atuh direncanain ke Sumbar-nya… 🙂
Kok aku sedih yaaa lihat rumah-rumah khas itu tidak terawat… tidak adakah ikatan kekeluargaan yang bisa mengambilalih perawatan?
Banyak faktor yang membuat rumah tersebut tidak ditinggali lagi. Pertama mungkin karena keturunan mereka udah pada tinggal di rantau, jadi tidak ada yang mengurus rumah. Atau bisa jadi juga pemilik ru,ah tersebut keturunan mereka punah. Itu istilah di minang, kalau ngga ada anak perempuan.
Atau bisa juga pernah dihukum secara adat jadi mereka ngga kembali lagi k kampunng halaman.
wah sayang banget ya, kalao sampe punah, dulu seinget saya waktu kecil rumah nenek saya juga rumah panggung khas sunda, diseberang rumah saya malah dibangun rumah panggung gede, kalau pas cuaca panas, tiduran di rumah panggung gitu adem banget,krn dari kayu semua, rumah itu dibongkar setelah sang kepala keluarganya (kakek tua) wafat,dan tanahnya itu dibagi2 ke anak2nya, trus pada bangun rumah tembok dibekas lahan rumah panggungnya, si neneknya yg kala itu msh ada, dibangunin rumah tembok juga, duh kalo inget jg suka sedih, identitas rumah tradisional sudah bener2 punah di kampung saya. rumah gadang ini sprti akan menyusul..tergerus arus modernitas-.-‘
Waduuuh, padahal rumah panggungnya masih kuat yaa… Kasian si neneknya. Masih hidup aja tanahnya udah dikapling2 dan diganti pula bangunannya. Kecuali si neneknya oke2 aja…
sedih ya, tp faktor penyebab kerusakan rumah gadang ini kompleks banget 😦
Sangat banyak sebabny… Udah pernah saya bahas di salah satu link di atas…
Sayang banget lihatnya 😦