
Pertambangan batubara Ombilin yang ada di daerah Sawahlunto merupakan tambang batubara peninggalan penjajahan kumpeni belanda. Tambang batubara ini berproduksi selama lebih dari seabad dari tahun 1890-an sampai tahun 2000-an. Sekitar satu seperempat abad. Sungguh usia yang panjang bukan? Sekitar 3 atau 4 generasi.
Pada masa awal tambang batubara berproduksi sampai masa kemerdekaan, pekerja tambang yang dipekerjakan oleh perusahaan dan kumpeni belanda adalah narapidana atau orang tahanan penjajah belanda. Mereka didatangkan dari Batavia atau Pulau Jawa, Medan, Makasar. Para tahanan ini dipaksa bekerja di sana dengan kaki yang dirantai supaya tidak bisa melarikan diri. Sehingga pekerja-pekerja ini disebut Orang Rantai karena kaki mereka yang dirantai oleh penjajah Kumpeni Belanda. Mereka bekerja dengan diawasi oleh polisi yang yang bersenjata.
Orang Rantai ini menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan Tambang Batubara Ombilin sejak dari awal berdirinya penambangan batubara ini. Orang-orang rantai ini awalnya dipekerjakan oleh kumpeni belanda sebagai tenaga kerja paksa untuk pembangunan jaringan rel kereta api untuk mengangkut hasil tambang batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Emma Haven (sekarang dikenal dengan nama Pelabuhan Teluk Bayur) yang berada di Padang. Setelah pembangunan rel kereta api, para tahanan yang dikirim ke dari Pulau Jawa dijadikan pekerja di Tambang Batubara Ombilin.
Sebagai tahanan kumpeni belanda, Orang Rantai ini hidup mereka sangat menderita. Mereka tidak hanya dipaksa kerja rodi, tetapi mereka juga diperlakukan tidak manusiawi. Setiap tahun Orang Rantai ini dicambuk 3 kali dalam setahun dan mereka bekerja tidak diberi upah karena status mereka yang orang tahanan. Kalaupun diberi upah, upah mereka sangatlah tidak memadai. Orang Rantai ini tinggal di dalam penjara yang dikelilingi tembok setinggi 7 m. Di atas tembok ini diberi potongan-potongan kaca dan juga kawat berduri sehingga tidak ada kemungkinan orang tahanan ini kabur dari lokasi tambang.
Kehidupan sosial Orang Rrantai ini juga dibiarkan hancur lebur. Perkelahian antar etnis juga sering terjadi dan itu dibiarkan saja oleh mandor. Juga perkelahian karena memperebutkan uang dan juga barang-barang langka yang sangat mewah bagi mereka seperti rokok, sehingga banyak menimbulkan koban jiwa bagi orang-orang rantai ini. Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi, baik oleh sesasama rekan sendiri maupun oleh mandor mereka.
Sebagai kawasan tambang yang tidak perempuan di sana, Orang- Rantai ini dipaksa menjadi “Anak Jawi” untuk menyalurkan hasrat seksual mereka. Anak Jawi secara bahasa artinya adalah adanak sapi, tapi maksudnya adalah pada sesama mereka sendiri, laki-laki dengan laki-laki. Tidak hanya terjadi antara sesama Orang Rantai, para mandor pun menyalurkan hasrat mereka pada orang-orang rantai ini. Astaghfirullahal adziim. Daaaan, apapun yang terjadi tidak masalah asalkan hasil produksi tambang minimal 6 ton/shift kelompok kerja.
Orang Rantai ini juga ‘dipaksa’ tidak bisa pergi walaupun sudah habis masa hukumannya. Begitu juga dengan buruh kontrak, mereka ‘dipaksa’ untuk tetap bertahan di kawasan tambang. Perusahaan dan pemerintah kolonial sering mengadakan hiburan rakyat di pusat kota. Mereka dibiarkan bersenang-senang, berjudi dan menghambur-hamburkan uang mereka. Setelah uang mereka habis, mereka diberikan pinjaman hutang yang membuat mereka tetap bekerja di tambang batubara dan tidak bisa pergi dari kawasan tambang. Begitu selalu sampai mereka menghabiskan hidup mereka di tambang.
Tidak hanya itu, oleh pemerintah kolonial atau oleh perusahaan Tambang Batubara Ombilin, hak-hak diri Orang Rantai atas nama mereka sendiri dicabut. Nama mereka ‘dikubur’ dari kehidupan mereka sendiri bahkan pada saat mereka masih hidup. Mereka bekerja ‘tanpa identitas’ diri mereka. Setiap narapidana yang bekerja di sini diberikan ‘nomor narapidana’ oleh perusahaan dan kompeni. Mereka dipanggil dengan nomor yang mereka dapatkan tersebut oleh semua orang. baik oleh sipir, mandor ataupun para pekerja dan tawanan lainnya. Sehingga mereka tidak dikenal atau tidak dipanggil dengan nama mereka sendiri.

Bahkan kelak jika mereka meninggal pun, pihak perusahaan ataupun pemerintahan penjajah kompeni belanda tidak ‘mengembalikan’ identitas mereka. Identitas yang digunakan terhadap mereka tetap ‘nomor’ yang mereka miliki bukan identitas asli mereka. Ketika meninggal, ‘nama’ yang tertera pada nisan mereka adalah ‘nomor keanggotaan’ mereka. Nama mereka terkubur dalam-dalam bersama jasad mereka.
Salah satu bentuk atau contoh nisan tanpa nama ini terdapat di Gudang Ransum, bekas dapur umum pekerja tambang batubara ombilin. Nisan bernomor ini dipajang di salah satu lemari pajang di sana. Ukuran nisannya berbentuk balok. Mungkin ukurannya 10 x 10 x 40 cm. Dan kalau tidak salah di Sawahlunto terdapat makam orang-orang rantai ini.
Menurut pendapat saya, orang-orang rantai ini termasuk orang-orang yang mempunyai kontibusi besar terhadap berdirinya Kota Sawahlunto dari yang tadinya hanyalah kawasan hutan di pedalaman minangkabau. Alfatihah buat mereka.
Ya Allah, sedih banget baca cerita ini 😦
Iyaa… sedih bangeet…
penjajahan hanya membawa nestapa ….
Iya… dan itu ratusan tahun, dari awal menapak indonesia…
Gedung info box dan museum gudang ransum ini gak cuma bikin kagum, tp bikin mewek buatku…
Iya… baca-baca informasi di sana tentang pembangunan TBO dan Kota sawahlunti bikin sedih dan merinding… Apalagi tentang orang-orang rantai ini…
Iyah, bener2 tercerabut hak asasinya, salah satu yg kuingat paksaan buat melakukan hubungan seksual sesama jenis, keji banget ya…
Benar-benar tidak berprikemanusiaan. Mereka juga dipaksa ‘bertahan’ dengan cara dibiarin berjudi, trus bangkrut dan dikasih utang biar tetap bekerja di sana. Sediih…
Betul….
[…] Nisan bernomor, nisan tanpa nama […]
Izin Copas ya mbak 🙏