Rubuhnya Surau Kami : (Bekas) Surau Tabiang Tanjung Barulak Tanah Datar Sumatera Barat

Duluuuu, sewaktu saya kecil, saya paling hobi merengek-rengek ikut nenek saya yang sudah almarhum. Dan nenek saya paling ngga kuat menolak kalau saya sudah merengek-rengek minta ikut. Makanya saya punya banyak kenangan masa kecil yang manis dengan almarhum nenek saya, ketimbang ibu saya… 😛

Suatu waktu, nenek saya bersama teman-teman pengajian (tarekat~kayanya) nenek saya pergi pengajian, nyater mini bus. Merengek-rengek dong saya minta ikut, hahaha. Dari kampung saya, perjalanan dimulai menuju sebuah mesjid di Nagari Malalo, masih di pinggir Danau Singkarak tapi posisinya di seberang jalan raya negara Solok – Bukittinggi. Mungkin jaraknya sekitar 30 an km dari kampung saya.

Mesjidnya berada di Danau Singkarak. Dari jalan raya jalan kaki dulu ke jalan kecil, kira-kira sejauh 100-an m. Dan kalau saya ingat lagi adalah, saat itu di jalan kecil tersebut banyak ulat bulu. Dan yang menyebalkan saya adalah, kenapa episode ulat bulu yang banyak tersebut masih teringat oleh saya sampai sekarang, padahal saya ngga jadi korban gatal-gatal karena ulat bulu loh. Kenangan yang ngga manis banget hahaha.

Setelah ashar, perjalanan dilanjutkan lagi. Tujuan berikutnya saya tidak tahu nama nagarinya, tapi setelah lama kemudian saya sempat tanya nenek saya apa nama tempat tujuan kami yang nginap di mushala tersebut. Nenek saya bilang, nama nagarinya adalah Nagari Tanjuang Barulak. Belakangan saya menyimpulkan perjalanan kami dilanjutkan menuju arah Padang Panjang. Nanti di simpang Nagari Payo, kami berbelok kiri ke arah Padang Panjang. Kalau ke kanan, arah Ombilin dan Solok.

Sekitar 100 m dari Simpang Payo tersebut sudah masuk Nagari Tanjuang Barulak. Batas nagarinya adalah rel kereta api di bawah jembatan jalan raya. Saya masih ingat belok kiri di Simpang Payo tersebut, kemudian saya tertidur. Saya dibangunkan nenek saya dan minibus berhenti di pinggir jalan. Hanya itu saja, yang lainnya saya lupa. Kesimpulan saya sekarang adalah : saya hanya tertidur maksimal 10 menit aja, hehehe.

Malamnya pas pengajian saya tertidur, maklum masih anak-anak ya. Ketika saya terbangun dari tidur, mushala masih penuh jemaah, jemaah perempuan semuanya mengenakan mukena putih, buya pun masih ngasih ceramah. Saya bilang ke nenek saya kalau saya mau buang air kecil. Saya turun sendirian ke bawah tanpa ditemani oleh nenek saya.

Saya masih ingat dengan jelas bentuk tangga tembok dengan pinggir tangga yang lengkung. Di depan tangga mushala ada tempat penampungan air untuk air wudhu. Entah kenapa, selama bertahun-tahun kemudian kenangan di mushala tersebut tetap lekat dalam ingatan saya. Saya juga heran kenapa selalu ingat dalam memori saya. Juga nama nagarinya, Tanjuang Barulak.

Ketika mulai remaja dan dewasa, saya dan keluarga saya sering jalan-jalan ke Bukittinggi, saya ingat saya pernah pergi sama nenek saya nginap di mushala yang berada di jalan yang ke Padang Panjang. Saya sering memperhatikan pinggir jalan di daerah Tanjung Barulak, mencoba mencari mushala yang dulu pernah saya kunjungi bersama nenek saya. Tapi saya tidak pernah melihat atau menemukan mushala tersebut. Dan lama kelamaan memunculkan rasa penasaran dalam diri saya. Mungkin loh ya.

Sekitar 3-an tahun yang lalu (hampir 4 tahun) saya dan saudara sepupu saya jalan-jalan dengan motor ke Padang Panjang (ke Mesjid Asasi Gunuang dan ke Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau Padang Panjang). Ketika di suatu tempat di pinggir jalan saya kebetulan menoleh ke kiri.

Daaaaan, tiba-tiba mata saya tertumpu pada tangga yang mirip dengan tangga mushala yang sering hadir dalam ingatan saya. Saya langsung berhenti dan mundur sedikit. Benar saja, di sebelah kiri saya, terdapat sebuah bangunan tua yang mirip mushala lama. Di depannya ada semacam tembok yang mirip dengan penampungan air. Bentuk bangunannya persegi dengan atap yang ada gonjongnya. Mirip dengan ciri-ciri bangunan mushala mesjid tuo minangkabau.

Saya turun dari motor. Saya perhatikan bangunan tersebut. Ingatan saya melayang pada masa kecil saya. Bangunannya mirip dengan mushala yang dulu pernah saya nginap, tangga dan penampungan airnya. Mata saya menatap ke arah gonjong. Di bawah gonjong terdapat satu speaker mikropon besar warna abu-abu. Hanya saja, kondisi bangunannya kok beda ya. Di depan mushala ada kain jemuran yang mirip jemuran keluarga. Dan bagian depan surau terlihat seperti agak kurang terawat.

Saya turun ke halaman mushala dan mencoba memanggil orang tapi sepertinya tidak ada oraang di sana. Saya kemudian berjalan ke arah bagian pinggir belakang, saya melihat bagian bangunan yang mihrab. Dan entah kenapa saya mempunyai keyakinan ini adalah bangunan mushala yang dulu pernah saya datangi bersama nenek saya. Tapi tidak ada orang yang bisa saya tanyai untuk memastikan dugaan saya tersebut.

Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Padang Panjang dengan membawa rasa penasaran. Sekitar dua bulanan yang lalu, saya dan sahabat saya sahabat saya jalan-jalan lagi ke Pasar Milenial Kubu Gadang Padang Panjang. Tumben-tumbenan kami pulangnya agak cepat, siang jam 2 kami sudah balik ke Solok. Padahal biasanya musti shalat magrib Padang Panjang. Saat itulah akhirnya saya mampir di mushala tersebut.

Alhamdulillahnya, ada orang yang bisa saya temui di sana. Orang tersebut saya lupa namanya, tinggal di mushala tua tersebut. Kata bapak yang tinggal di sana, nama mushala ini adalah Surau Tabiang (tabiang, bahasa Indonesianya adalah tebing). Surau ini merupakan surau kaum atau surau suku. Tapi saya lupa suku apa, kalau ngga salah Suku Tanjuang (Tanjung) deh.

Bapak tersebut membenarkan bahwa bangunan yang ia tempati sekarang dulunya adalah sebuah surau. Hanya saja, seiiring waktu orang-orang lebih banyak shalat ke mesjid atau mushala (yang bangunannya) tembok yang secarak fisik bagus-bagus. Sehingga lama-kelamaan jemaah yang tersisa di surau hanyalah orang-orang tua (yang ikut tarekat Syathariyah) dan kemudian tidak ada lagi jemaah di sana.

Menurut keterangan si uda tersebut, dulu mushalanya ramai karena masih banyak yang ikut tarekat syatahariyah. Tapi belakangan jamaah yang ikut tarikat syatariyah berkurang dan malah (mungkin) ngga ada lagi. Jadinya mushala ini kosong dan ditempati oleh keluarga bapak ini. Hati saya ada semacam perasaan teriris mendengar cerita ini, cerita mushala yang ‘rubuh’ karena ditinggal jamaah.

Saya akhirnya pamit, setelah rasa penasaran berkelindan di kepala saya, sekarang rasa penasaran tersebut hilang hahaha. Tapi jujur, saya sedih liat mushala yang dulunya ramai sekarang tidak ada jemaah, malah dijadikan tempat tinggal.Ya ngga apa-apajuga sih dijadikan tempat tinggal, jadinya lebih bermanfaat daripada kosong tak berpenghuni. Aaah, rupanya tidak hanya rumah gadang yang banyak kosong ditinggal penghuninya. Surau atau mushala pun jadi kosong ditinggal jamaah.

Sediiiiih banget gueee…

Advertisement

4 comments

  1. banyak tu un surau terbengkalai. Kalo lagi naik kereta api dari padang ke pariaman, kadang ngeliat surau-surau tua yang sudah tidak dipakai lagi. sedih 😦

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s