
Oya gaes, kemaren-kemarenkan saya cerita panjang kali lebar kan ya, tentang saya yang jalan-jalan ke Lembah Harau tapi mutar dulu lewat Lintau, bukan lewat Tanjung Alam. Itu cerita udah panjang banget tapi baru setengah kisah yang saya ceritakan. Berasa ini cerita penting aja ya, hehehe.
Jadi saat kami masih di Kampuang Sarosah Lembah Harau, cuaca udah mulai gelap. Dan menjelang keluar dari kawasan Lembah Harau dari kejauhan terlihat langit yang hitam pekat di sekitar arah kota Payakumbuh. Dan benar saja, beberapa kilometer sebelum kota Payakumbuh, langit hitam makin gelap, makin pekat. Saya sangat yakin hujan deras bakal mengguyur Payokumbuah. Dan ternyata, dugaan saya benar banget. Hujannya sangaaat deras.
Saya mengusulkan ke Linda supaya dia membeli jas hujan plastik kantong kresek gitu, karena saya hanya satu jas hujan. Dia oke. Tapi kemudian yang saya sesalkan adalah, kenapa saya tidak ikutan membeli jas hujan juga. Karena rupanya, air hujan yang menerpa tubuh saya jatuh mengalir ke bawah, tepat di atas ikatan kantong kresek yang (awalnya) melindungi tas saya dari hujan.

Air hujan yang jatuh di atas simpul kantong kresek, masuk ke dalam kantong kresek yang berisi tas saya tanpa saya sadari. Air hujan tersebut tentu saja tidak mengalir dan kemudian mengumpul di dalam kantong, lalu merendam tas saya. Saya baru menyadarinya ketika saya merasakan tali tas saya semakin berat di pundak saya. Dan ternyata, tas saya yang berisi hape sudah berenang di dalam kantong kresek… Saya sediiiih banget begitu tau hape saya sudah tidak bisa dinyalakan lagi, hahaha.
Tapi mau gimana lagi. Dibilang pasrah ya sedih, rada-rada ngga ikhlas, dan pengennya merutuki diri sendiri. Dibilang mau mencoba ikhlas mah boong banget, karena dada saya sesak banget begitu melihat hape saya jadi mati karena kecerobohan saya sendiri. Pokoknya semua perasaan bercampur baur menjadi satu.
Kami meneruskan perjalanan menuju Bukittinggi dalam gelap. Jam sudah menunjukkan sekitar jam setengah 7 an lewat, karena azan magrib baru saja berkumandang. Kami tiba di rumah teman kami di Bukittinggi sekitar jam setengah 8 lewat. Maklum baru pertama kali kami ke sana dan sudah malam pula, plus abis ujan gede pula. Kami berkunjung ke rumah teman SMP yang sekarang sudah jadi orang kayaaah, hehehe.
Yang namanya ketemu teman lama yang bertahun-tahun tidak ketemu, kami keasyikan. Apalagi juga disuguhi makan segala, pesan nasi ke rumah makan terkenal. Karena memang demikian budaya di padang kan ya, tamu bisa dibilang wajib makan di rumah tempat bertamu, hahaha.

Ketika kami pulang, jam sudah menunjukkan jam setengah 10. Yuuup 9.30 malam. Sementara jarak tempuh Bukittinggi – Solok sekitar 75 km. Bayangkan, jam berapa kami bakal tiba di Solok? Kegilaan kami ngga kira-kira ya, hahaha. Di sepanjang jalan Bukittinggi – Padang Panjang, masih cukup banyak mobil (walaupun ngga rame juga) yang lewat. Kami masih merasa tenang. Satu dugaan saya waktu itu adalah mobil-mobil tersebut pasti tujuannya ke Padang, dan (hampir) ngga ada yang ke Solok.
Dan ternyata dugaan saya benar. Kami berbelok ke kiri, ke arah jalan bypass menuju Solok, jalanan tiba-tiba sepi, senyap. Ngga ada satupun mobil atau kendaraan yang searah dengan kami ke Solok. Sementara kiri kanan jalan adalah sawah-sawah yang diselimuti kegelapan malam yang pekat. Satu dua ada rumah sih, tapi itu udah jam 10 an coy, gerimis pula.
Di jalan raya bypass tersebut, kami melihat ada mobil yang huruf plat belakang angkanya adalah plat K, plat daerah Sijunjung mendahului kami. Saya pun mengejar mobil tersebut sambil menyalakan lampun sen. Mobil tersebut bukannya melambat, malah makin kencang lajunya, hahaha. Maklum, mobil pasti lebih ‘ngebut’ daripada motor kan ya.
Begitu tiba di jalan raya Solok – Padang Panjang, dari daerah perbatasan kota Padang Panjang sampai Ombilin kami hanya bertemu 4 kendaraan dari arah Padang Panjang. 2 motor dan 2 mobil. Kesemua kendaraan tersebut mendahului kami, dan saya lagi-lagi memberi kode klakson dan lampu sen. Lagi-lagi semua kendaraan tersebut melaju dengan kencang. Mungkin juga mereka melihat kode sen dari saya tapi malam-malam begitu pasti orang-orang juga takut kali ya, hahaha. Jangan-jangan mereka mengira kami ini penjahat yang akan menjebak dan kemudian membegal mereka. Makanya mereka ngebut gitu kan, wkwkwkkwkwk.

Trus ya dari arah Ombilin sampai ke Singkarak, itu kan sepanjang jalan merupakan pinggir Danau Singkarak. Dan permukaan danau yang terlihat kegelapan yang sangat kelam. Ada cahaya cuma terlihat di seberang danau yang berasal dari cahaya listrik perkampungan Nagari Paninggahan, Muaro Pingai ataupun Saniangbaka. Di sebelah kiri jalan raya adalah rel kereta api yang diapit dengan tebing perbukitan.
Sepanjang jalan raya dari Ombilin sampai tiba di Solok kami hanya bertemu 3 kendaraan dari arah yang sama. Dan ada 2 atau 3 kendaraan dari arah Solok. Saya tau ya, jalanan di sana Insya Allah aman, dan setau saya belum pernah terdengar terjadi kejahatan semacam begal atau apalah di sana. Tapi yang bikin saya rada keder adalah teman saya dibelakang di sela-sela obrolan kami dia selalu zikir atau shalawatan. Sebeeeeel deh saya. Bagus sih, tapi menurut hemat saya, dia sebaiknya shalawatan atau zikirnya di dalam hati aja. Dengan dia bershalawat atau zikir menunjukan ‘kesensitifannnya’. Tiba-tiba saya jadi parno ‘dikagetin’ hahahaha.
Tapi ya, alhamdulillah setibanya di depan Polsek Singkarak, kami berhenti sebentar. Kebetulan juga di depan kantor polisi, dua orang polisi yang jaga duduk di kursi persis di pinggir jalan raya. Kami berhenti sekejap di dekat pak polisi, sekadar angkat pantat (maaf), berdiri sesaat. Gilaa boo rasanya pantat saya pegel-nya. Rasa mau copot. Gimana enggak, seharian saya mengendarai motor sampe 250 km lebih. Gimana ngga pegel, hahaha. Kami menyapa polisi, polisi juga menyapa kami.

Tentang polisi, kami berdua sampe mikir aneh aja sih mereka berdua duduknya di pinggir jalan raya, bukan di pos jaga. Saya dan Linda sampe bercanda itu benar-polisi polisi atau bukan ya, mungkin ‘polisi’ yang lagi dinas, hahaha. Tapi kami juga mikir, jangan-jangan polisinya juga mikir, itu beneran cewek berdua motoran berenti di depan kita, hahaha. Jangan-jangan pikiran mereka macam-macam lagi, wkwkwkw.
Yang paling epik itu pas kami tiba di Solok, saya kan musti nganter teman saya dulu ke rumahnya. Baru kemudian saya pulang sendirian ke rumah. Jalanan ngga ada orang sama sekali. Jaraknya sekitar 1,5 km sih. Cuma saya musti ngelewatin jembatan yang saya selalu merasa serem di sana kalau motoran sendirian malam-malam. Saya lantas baca-baca semua ayat yang apal di kepala hahaha. Di jembatan yang saya maksud, terasa lebih agak menyeramkan daripada melewati pekuburan umum yang berada di kiri kanan jalan menjelang rumah saya. Entah kenapa dah, heran saya, hehehe.
Setibanya di rumah nyokap masih menunggu saya pulang. Ya sudahlah kena omelan dikitlah saya karena ngga ngasih tau ke mana saya jalan kemana, hehehe. Tapi yang jelas yah, itu perjalanan yang penuh drama menurut saya, tapi menyenangkan meski hape saya jadi korban, hehehe.
Pas kejadian pasti sebel ya tp skr mungkin udah bisa ketawa2 hehe
Hahaha…bener Non, tapi giliran ingat hape yang rusak bikin bete, hehe
wow 😀 #udah gitu aja komennya
Wew… 😛