Pagi-pagi sehabis shalat subuh, saya segera beberes : mandi, dan bersiap-siap berangkat ke Kota Bukittingi. Jam 6 kurang saya sudah jalan dari rumah ke pasar raya solok, tempat mangkal bus tujuan ke berbagai kota di Sumatera Barat. Pada pagi hari sebelum jam 7, bus antar kota antar provinsi diizinkan mangkal di Pasar Raya Solok.
Hari masih gelap ketika saya keluar rumah dan naik bus, (minibus sih tepatnya). Sekitar jam 6 lewat 5 atau 10, bus bergerak ke arah Bukittinggi. Karena mata saya masih sangat mengantuk, saya tidur lagi di bus. Lumayan lah sekedar merem-in mata setengah jam lebih sampai waktu minta ongkos di tempat pemeriksaan jumlah penumpang di pinggir Danau Singkarak di daerah Ombilin.
Saya tiba di Jambu Aia, Bukittinggi, jam 8. Karena tadi saya belum sarapan, saya sarapan makan ketupat dulu Jambu Aia. Setelah baru saya lanjutkan jalan bingung saya naik angkot tujuan Pasar Bawah, atau Pasar Banto. Setiba di sana, saya nanya orang-orang, angkutan tujuan Tarusan Kamang yang berada di Kamang Mudiek.
Dari penjelasan orang-orang, saya harus jalan dulu ke persimpanan jalan arah ke Baso. Sekitar 300 m, dan berada sekitar 100 m setelah objek wisata Rumah Kelahiran Bung Hatta. Dan ternyata, angkotnya tersebut dari terminal Aua Kuniang, terminal bus antar kota Bukittinggi.
Jiaaah, kalau saya tau rute angkotnya adalah dari atau ke Aua Kuniang, mending tadi saya turunnya di terminal aja dong ya, hehehe. Akibat malas bertanya secara jelas nih. Makanya nanyanya yang jelas ya Jeung, karena kalau malu bertanya sesat di jalan, hehehe.
Dan angkot pun tiba setelah saya tunggu sekitar 15 menit.
Setelah melewati Pakan Kamih, Kamang, perjalanan ke Tarusan Kamang ini disuguhi pemandangan sawah yang terbentang luas. Padi yang baru ditanam membentang hijau di depan mata. Pun membentangkan kedamaian mata dan hati saya.
Angkot yang saya tiba di pemberhentian terakhir angkot di Tarusan. Ujung perjalanan tersebut berada di persimpangan jalan yang terdapat sekolah dasar, SD Tarusan. Saya tanya sopirnya apakah tarusan masih jauh dan apakah ada kendaraan ke sana. Sopirnya menjawab sudah dekat, dan tidak ada kendaraan ke sana. Jadi, harus jalan kaki.
Sopirnya yang mungkin berumur sekitar awal 20 an, terlihat sangat heran dengan saya yang jalan sendirian. Ia yang tadi melihat saya naik angkot sendirian bahkan bertanya lagi untuk meyakinkan dirinya bahwa saya benar-benar sendiri atau tidak. Dan memastikann tujuan saya ke Tarusan Kamang, hehehe. Dikiranya saya orang tea (teya) kali ya, hehe.
Mungkin berangkali baru saya saja yang datang sendirian ke sana ya. Jadi terlihat sangat aneh sama dia, mungkin, hahaha. yang lainnya kalau ngga pergi sama keluarga, mungkin pergi rombongan bersama teman-teman. Lah saya?? Sendiri?? Orang aneh, mungkin itu yang ada dalam pikirannya kali ya. Gimana kalau dia tau bijo hobi jalan-jalan sendirian ke luar negeri (khususnya Iran ya? Syok dia kali tuh, hehehe.
Permasalahan yang saya hadapi adalah, makna kata ‘tidak jauh’ menurut orang-orang yang tinggal di kampung kan berbeda. Saya mengikuti petunjuk sopir angkotnya. Lurus aja, masuk simpang dekat sekolah, jalan terus, nanti menikung ke kanan, katanya. Satelah berjalan sekitar 200 m, dan liat kira-kira lokasinya dimana, saya pikir masih jauh banget dari kata “tidak jauh” yang dimaksud sopir angkotnya.
Benar sih, ada bagian tarusan tersebut yang berada dekat pinggir jalan. Ada beberapa bapak-bapak yang memancing di situ. Tapi itu bukan bagian utama wisata tarusan tersebut. ‘Panggung’ utama tarusan tersebut terdapat di bawah kaki bukit yang berjarak kira-kira 1,5 km atau 2 km dari pemberhentian angkot.
Akhirnya saya stop-in aja bapak-bapak yang lagi mengendarai motor. Pura-pura nanya dulu apa pusat objek wisata Tarusan Kamana masih jauh atau tidak. Abis itu saya tanya kesediaannya untuk mengantar saya ke sana, dan menunggu saya sebentar. “Saya sebentar saja kok, Pak. Ambil foto doang, abis itu udah!” kata saya berbicara pakai bahasa padang. Dan bapaknya mau, alhamdulillah.
Untung juga saya numpang motor si bapak, karena jalannya lumayan jauh kalau berjalan kaki ke sana. Mungkin 1,5 km lebih atau 2 km. Saya sendirian pula. Tegar amat dah saya kalau saya jalan sendirian ya, hahaha. Dan alhamdulillah nya pun bapaknya mau nunggu saya sebentar.
Lapangan rumput yang menjadi pusat wisata Tarusan Kamang masih sangat sepi. Mungkin baru saya saja pengunjung yang datang. Hanya ada beberapa orang masyarakat sana yang menjadi pedagang di warung-warung makanan. Maklum, gari masih pagi. sekitar jam setengah 10 atau jam 10.
Pagi itu langit terlihat biru cerah. Begitu juga awan tampak putih bersih. Suara-suara alam terdengar jelas di sini. Kicauan burung, uya-uya (saya ngga tau bahasa Indonesia nya apa). Bahkan suara angin yang berhembus pun terdengar lembut. Tenang dan menghanyutkan yang membuat saya pengen rebahan di rumput, hahaha.
Saya membayangkan, piknik atau duduk santai di atas rumput pasti akan sangat menyenangkan. Tapi saya memang tidak bisa lama-lama menikmati keheningan alam di sini karena tujuan saya ke sini bukan untuk bersantai-santai cuanteek, hehehe. Dan tujuan saya ke Bukittinggi tidak hanya ke sini. Masih ada beberapa tempat lain lalgi yang hendak saya kunjungi.
Setelah menikmati sebentar suasana alami di sini, saya langsung aja cekrakk cekrek ambil foto. Say juga naik rakit sebentar tapi ngga nyebrang. Hanya naik rakit yang parkir aja, ngga mencoba ‘berlayar’ mengarungi tarusan tersebut, hehehe. Abis itu balik lagi ke tempat pangkal angkot di pertigaan dengan ojek yang sudah menunggu saya. Dan kemudian segera naik angkot lagi ke pusat kota Bukittinggi.
Tujuan saya berikutnya adalah, jalan ke Nagari Koto Gadang. Saya ke Koto Gadang naik ojek juga. Ngga mau juga jalan sendirian di Janjang Kota Gadang, lebih baik naik ojek saja. Apalagi niat saya kan mau mampir dulu ke Janjang Saribu bagian bawah, di berada di pinggir kali di Ngarai Sianok.
Memang terkadang urusan transportasi menjadi semacam penghalang bagi kita untuk bereksplorasi ya. Tapi tergantung kitanya juga sih, kalau mau nekat dan niat kayaknya selalu akan ada jalan, meskipun harus nanya sana-sini dan meminta ojek buat menunggu, hihi. Apa kabarlah kalau saya yang tak bisa bahasa Padang ini, haha.
Danaunya bagus… tenang dan alami, langitnya juga biru. Kayaknya sepi banget ya, apa karena masih pagi? Berlama-lama di sana bikin betah ya, buat memotret alam atau sekadar bersantai, hehe.
Ini danau keren yang ada hanya saat tertentu saja. Perlu usaha pemda Agam lebih keras lagi untuk membuat danau ini lebih mendunia. Pemandangannya asyik dan bikin hati tenang.
Ngebolang sendirian, Firsty berani juga. Kalau selagi di Sumbar dan komunikasi pakai bahasa Minang, Insya Allah tidak tersesat. Banyak orang baik yang mau menolong.
Uya-uya = tonggeret (sunda) = garengpung (jawa) = nyenyeng (bugis) = uyia-uyia (Muarolabuah) 🙂
Iya, kalau lg ada air suka ada festifal dan perkemahan jg.
Kalo di sumbar masih brani sendiri. Tp dianggap aneh sama orang, dikira urang tea, hehehe.
Cerita cerita Firsty tentang daerah daerah wisata di Padang selalu bikin mupeng pgn cepetan bisa ke Padang. Dan kayaknya Firsty tuh tipe kayak aku yg suka berwisata dgn kendaraan umum. Cocok nih kayaknya jadi guide aku kalo suatu hari main ke Padang ☺
Ayooo, main ke Padang… siapa tau pas waktunya… jadi bisa tak temanin… 🙂
Aamiin…Semoga segera ada rezeki untuk bisa jalan-jalan ke Padang 🙂
Aamiin… 🙂
[…] ← Previous […]